GERAKAN BURUH MELAWAN POLITIK UPAH MURAH DAN PENANGGUHAN KENAIKAN UPAH 2013

1.       Pengantar; Sejak zaman kolonialisme Belanda hingga sekarang politik upah murah masih tetap dipertahankan oleh rezim. Kenaikan Upah...

1.      Pengantar;
Sejak zaman kolonialisme Belanda hingga sekarang politik upah murah masih tetap dipertahankan oleh rezim. Kenaikan Upah dari tahun ke tahun sama sekali tidak membawa perubahan terhadap peningkatan atau perbaikan kesejahteraan kaum buruh Indonesia. Hal ini karena perubahan peraturan pengupahan tersebut tidak menyentuh substansi, dan hanya bersifat formal semata. Sehingga upah buruh tetaplah murah, itu semua terjadi karena rezim yang berkuasa dari dulu hingga sekarang adalah rezim politik upah murah. Perubahan kebijakan di tataran regulasi hanya untuk memperhalus praktek politik upah murah di Indonesia.

Sistem Pengupahan di Indonesia adalah benar-benar retorika kesejahteraan yang mana faktanya sampai saat ini bisa dilihat dari Permen 13 tahun 2012. Jadi kalau kita tinjau lebih dalam meskipun ada perubahan regulasi aturan pengupahan yaitu Permen 13 tahun 2012 (pengganti Permen 17/2005) akan tetapi secara subtansi masih tetap sama saja dengan peraturan sebelumnya, sehingga kenaikan upah dibeberapa kota meskipun sudah sesuai KHL bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil survei KHL yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan, namun secara kualitas upah buruh tidak mengalami perubahan sama sekali, karena survei KHL yang di jalankan oleh Dewan pengupahan masih mendasarkan pada standar kebutuhan hidup buruh lajang. Lantas bagaimana dengan buruh yang sudah berkeluarga?

Upah adalah harga tenaga kerja. Maka, seperti layaknya Barang Dagangan (komoditi), harga tenaga kerja juga tunduk dengan Hukum Pasar mengenai permintaan dan penawaran. Dalam konteks ketenagakerjaan, ia lazim disebut pasar tenaga kerja. Melimpah ruahnya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan kebutuhan atau terbatasnya daya tampung industri akan tenaga kerja, tidak hanya menyebabkan besarnya cadangan tenaga kerja yang tidak terserap (pengangguran), tetapi secara otomatis juga akan melemahkan daya tawar buruh (penjual tenaga kerja) dihadapan pengusaha (pembeli tenaga kerja), sehingga menurunkan harga dari tenaga kerjanya (upah). Begitu pula sebaliknya.


Karenanya, teori ekonomi apapun yang dikeluarkan oleh kapitalis, pada hakikatnya tidak akan pernah dapat -atau bersedia- menghilangkan pengangguran. Sebab, mereka memerlukan pengangguran. Tidak hanya sebagai cadangan tenaga kerja bagi kepentingan industri (barisan cadangan buruh), tetapi juga untuk menekan upah buruh serendah mungkin. Buruh dipaksa untuk saling berkompetisi antar sesamanya dalam memperebutkan pasar tenaga kerja yang terbatas. Semakin rendah harga tenaga kerja yang dapat dibeli oleh kapitalis (pengusaha), maka tidak hanya akan menekan biaya produksi yang harus dikeluarkannya, tetapi juga akan memberikan laba yang lebih besar kepada pengusaha dari Nilai Lebih yang dihasilkan oleh buruh.

Selain hukum pasar tenaga kerja (sebagai salah satu faktor utama dalam menekan upah), upah juga sangat rentan terhadap kenaikan harga barang dan jasa, yaitu Inflasi. Karena, ia menjadi ukuran terhadap Upah Riil buruh. Kenaikan rata-rata inflasi diatas kenaikan rata-rata upah, berakibat penurunan terhadap upah riil buruh. Begitu pula sebaliknya.

Sedangkan upah minimum adalah harga tenaga kerja terendah. Ia merupakan suatu kebijakan pengupahan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa, sebagai standarisasi upah terendah di suatu wilayah dan/atau bagi Jenis Produksi tertentu dalam suatu wilayah (sektoral). Karena itulah, meskipun upah minimum diterapkan oleh berbagai negeri, namun ia dapat berbeda-beda fungsinya tergantung dari sistem ekonomi-politik yang berlaku di suatu negeri. Berarti, menjelaskan fungsi upah minimum di suatu negeri, juga akan memperlihatkan akan karakter dari rezim yang berkuasa.

Kendati upah dapat naik dan turun layaknya harga barang dagangan lainnya (komoditi), tetapi pergerakannya memiliki batas-batas serta dapat diukur sesuai dengan wilayah tertentu dan/atau jenis produksi tertentu di suatu wilayah. Ia terkait dengan sejumlah uang tertentu yang dibutuhkan oleh buruh bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya (secara rata-rata). Bagi pengusaha, minimal ia dapat memastikan agar buruh dapat memulihkan kembali tenaga-kerjanya untuk bekerja kembali keesokan harinya. Berhubungan dengan hal diatas, standarisasi kebutuhan hidup ini juga terkait dengan sistem ekonomi-politik yang berlaku di suatu negeri.

Secara esensial, kebutuhan hidup manusia yang paling dasar harus memenuhi tiga hal, yaitu : 1). Kebutuhan Fisik (makanan dan minuman, tempat tinggal, kesehatan, dsbnya); 2). Kebutuhan Non-Fisik (pendidikan, rekreasi, dsbnya); dan 3). Kebutuhan Sosial (yaitu, kebutuhan manusia untuk berkembang biak atau berkeluarga. Hal ini merupakan kebutuhan sosial manusia yang paling mendasar). Pemenuhan ketiga kebutuhan dasar tersebut, merupakan jaminan atas kualitas paling dasar dari hidup setiap manusia.

Maka, seharusnya ketiga kebutuhan itulah yang harus dijadikan standar atas Kebutuhan Hidup Minimum buruh, sebagai dasar dalam menentukan Upah Minimum. Sifatnya adalah Minimum atau sebagai Jaring Pengaman, agar kualitas hidup buruh tidak jatuh hingga ke titik paling terendah. Dalam hal ini, upah minimum berfungsi sebagai perlindungan terhadap buruh.

Fungsi upah minimum yang ditujukan sebagai perlindungan bagi buruh, tentu saja tidak akan berlaku bagi sistem yang hidupnya justru didasarkan pada penindasan dan penghisapan terhadap buruh serta rakyat pekerja lainnya. Dalam sistem kapitalisme yang saat ini berlaku di berbagai negeri imperialisme, patokan standarisasi upah terendah (upah minimum) terutama hanya dijadikan sebagai ukuran agar dapat terbelinya berbagai barang dagangan (komoditi) milik para kapitalis monopoli. Ia berfungsi sebagai ukuran daya beli atau konsumsi rakyat. Sebab, di negeri imperialisme, buruh secara kuantitas adalah yang mayoritas. Mereka menjadi sasaran pasar dari penjualan barang dagangan (komoditi) milik imperialis. Karenanya, peningkatan upah buruh, pada hakikatnya hanyalah penyesuaian inflasi untuk mendongkrak konsumsi buruh.

Tetapi, kenaikan upah itu akan direbut kembali oleh pengusaha melalui berbagai macam cara, antara lain: lonjakan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi), kenaikan pajak, dsbnya. Hal itu dapat dilakukan oleh pengusaha, sebab merekalah yang mendominasi secara ekonomi-politik di negeri imperialisme. Namun dalam keadaan krisis, sebuah situasi ekonomi yang tidak dapat dihindari dan menjadi bagian utuh dalam sistem kapitalisme, yaitu terutama over-produksi; fungsi upah diatas untuk sementara waktu tidak berlaku. Tidak hanya upah buruh yang terpuruk jatuh, bahkan kepastian kerja buruh pun terpukul. Peristiwa PHK massal tak terhindari. Buruh adalah tumbal pertama yang menjadi korban dari krisis di negeri imperialisme.

Di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan seperti Indonesia, tentu saja fungsi upah minimum akan memiliki perbedaan dengan negeri imperialisme yang menjadi tuannya. Sebab, kedua negeri yang disebutkan pertama (jajahan dan setengah-jajahan) merupakan sumber utama dari super-laba (super-profit) yang dihisap dan dikeruk oleh imperialisme. Mereka adalah sumber tenaga kerja murah serta penyedia bahan baku murah namun berlimpah. Buruh di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, bukanlah tujuan pasar utama dari barang dagangan (komoditi) milik para kapitalis monopoli (Imperialisme).

Meskipun begitu, buruh dan rakyat tertindas di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, merupakan penampung terbesar dari berbagai barang dagangan yang tidak terserap (terjual) di pasar imperialisme akibat dari over-produksi. Maka, fungsi upah minimum di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan bukanlah sebagai ukuran dari daya beli (konsumsi) apalagi perlindungan bagi buruh. Tetapi, upah minimum berfungsi untuk mempertahankan Politik Upah Murah dan hanya bertujuan agar buruh tetap dapat bertahan hidup serta dapat melangsungkan kerja produksi.

Karena itulah, mengapa di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, level upahnya sangat jauh dibawah upah buruh di negeri imperialisme. Namun, perbedaan ini akan terus berlangsung, sepanjang imperialisme tetap memiliki negeri jajahan dan setengah-jajahan yang berada dibawah dominasi ekonomi maupun politiknya. Khususnya di negeri setengah-jajahan, seluruh proses diatas dapat berjalan dengan sangat lancar, karena dibantu oleh rezim boneka sebagai penguasa dalam negeri yang menjadi kaki-tangan imperialisme, serta merupakan penyokong utama dari sistem Setengah Jajahan.

Klas buruh indonesia yang bekerja di sektor industeri saat ini kurang lebih berjumlah 15 Juta, telah mengalami penindasan dan penghisapan akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada klas buruh dan rakyat pekerja lainnya. Dominasi kekuatan Imperialisme baik secara ekonomi, politik, militer dan kebudayaan masih kokoh berdiri karena bantuan dan sokongan dari para pembantunya yaitu borjuasi besar komperador dan tuan tanah besar di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY - Budiono). Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu SBY-Budiono harus menuruti segala kehendak tuan Imperialisnya saat ini yaitu Imperialis-AS yang tengah menghadapi resesi ekonomi akibat hantaman krisis ekonomi akibat over produksi.

Di bawah rejim fasis penghamba Imperialis inilah klas buruh dan rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara di gunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme AS sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri, perkebunan-perkebunan besar sampai pada jumlah penduduk yang sangat menguntungkan untuk pasar, dan untuk penyedia tenaga kerja/buruh yang sangat murah.

Semakin masifnya monopoli atas tanah dan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Imperialis dan komperadornya di dalam negeri menjadi dasar utama eksisnya Upah murah di Indonesia, Di pedesaan Imperialis yang bekerja sama dengan borjuasi komperador dan tuan tanah secara luas sudah menguasai tanah seperti perkebunanan dan sudah banyak sekali penguasaan tanah di Indonesia, sedangkan sangat sedikit sekali rakyat yang memiliki tanah. Kondisi ini selain mengakibatkan semakin banyaknya rakyat miskin di Indonesia yang disebabkan karena tanahnya terampas, juga meningkatkan urbanisasi dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan, hal ini jugalah yang menyebabkan pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga melemahkan posisi tawar buruh Indonesia di hadapan pengusaha.

Beberapa perusahaan besar yang saat ini melakukan monopoli atas tanah diantaranya adalah Sinar Mas Grup melalui Sinar Mas Agro-Resources & Technology (Keluarga Eka Tjipta Wijaya) menguasai sekitar 1,3 juta ha lahan untuk perkebunan, Astra Agro Lestari sekitar 500 ribu ha (Keluarga Wiliam Suryajaya), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto) 777,9 ribu ha, Barito Pasific (Prajo Pangestu) menguasai 555.617 ha, Indofood Sukses Makmur (Keluarga Liem Siu Liong) 467 ribu ha, Wilmar Grup (Sitorus) 500 ribu ha, London Sumatera 128.763 ha, Bakri Sumatera Plantation 166 ribu ha, Sampoerrna Agro 90.055 ha, Gudang Garam memiliki 14 anak perusahaan perkebunan sawit. Dan masiah ada ribuan lainnya yang menguasai tanah ratusan dan ribuan hektar secara perorangan.

SBY-Budiono, memobilisasi seluruh sumber daya untuk memastikan keberlangsungan monopoli tanah dan industrialisasi palsu yang bergantung pada investasi asing, dengan jargon ”segalanya untuk investasi asing”. Seluruh konflik agraria yang tercatat pada tahun 2011, sengketa tanah telah meributkan lahan kurang lebih seluas 342.360,43 hektar dan melibatkan modal monopoli asing sangat kuat sebagai sumber kapital yang utama dan penentu tujuan produksinya.

Negara dan pemerintahan kaki tangan imperialis AS sebagai kaki tangan maupun sebagai tuan tanah besar, melakukan perampasan tanah (land grabbing) dalam berbagai sektor, mulai dari untuk perkebunan besar, pertambangan, taman nasional, pembangunan infrastruktur, pun penyewaaan tanah bagi multi national coorporation atau negeri-negeri kaya (seperti yang terjadi dalam skema Merauke Integrated Food Energy Estates (MIFEE) yang disewakan bagi berbagai investor asing di antaranya Bin Laden Group asal Saudi Arabia, atas nama ketahanan pangan dan energi, yang memakan 2 juta hektar lahan di Papua).

Atas kondisi tersebut maka menjadi keharusan bagi klas buruh Indonesia di dalam memperjuangkan kenaikan upah harus terhubung dengan perjuangan kaum tani dalam melawan perampasan tanah, karena hampir mustahil upah buruh dapat mengalami kenaikan yang signifikan dan dapat memenuhi kebutuhan objektif buruh apabila perampasan tanah dan monopoli tanah terus terjadi. Karena semakin masif perampasan tanah maka akan semakin banyak cadangan tenaga kerja (pengangguran) yang siap menggantikan posisi buruh saat ini, sehingga ketika pengangguran angkanya semakin meningkat maka pengusaha akan berada diatas angin untuk terus menekan upah buruh di Indonesia berada dalam titik terendah.

Selain itu pemerintah SBY-Budiono sesuai dengan anjuran tuannya (Imperialis AS) sukses menerapkan pasar kerja yang fleksibel, dampaknya adalah perampasan upah yang semakin intensif dan luas karena semakin masifnya praktek sistem kerja kontrak jangka pendek dan tenaga alih daya (outsourcing). Selain tidak adanya kepastian kerja dan ancaman PHK buruh kontrak dan outsouscing dihadapkan dengan perampasan hak atas upah dan hak-hak lainnya yang tidak di berikan oleh pengusaha, meskipun sudah ada UU No 21 tahun 2000 yang mengatur mengenai kebebasan berserikat bagi buruh akan tetapi sampai hari ini klas buruh sangat sulit mendapatkannya, terbukti ketika klas buruh ingin mendirikan serikat buruh yang sejati di pabrik, praktek-praktek penghalang-halangan dan pemberangusan serikat buruh oleh pengusaha terus saja dibiarkan tanpa ada tindakan kongkrit yang dilakukan oleh pemerintah.


2.      Pandangan GSBI Tentang Pengupahan di Indonesia

Upah yang diterima oleh klas buruh selalu tidak sebanding dengan kebutuhan hidup minimum buruh beserta keluarganya. Hasil kerja lembur atau sampingan lainnya pun masih jauh menjangkau pemenuhan kebutuhan dasar buruh. Fakta sesungguhnya, kenaikan nominal upah dari tahun ke tahun tidak pernah mencapai peningkatan upah riil, bahkan sebaliknya. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) Nasional saja menunjukkan angka upah riil dari tahun 2008 sampai 2012 selalu di bawah kenaikan upah nominal. Rendahnya upah riil ini dipengaruhi dengan tingkat kenaikan harga barang konsumsi atau Indeks Harga Konsumen (IHK) yang naik terus tiap tahun sebelum kenaikan  upah di tahun yang baru. Sebagai contoh, rata-rata upah nominal nasional pada tahun 2008 sebesar Rp 1.103.400 sedangkan upah riil Rp 969.100 akibat laju kenaikan rata-rata harga barang konsumsi per tahun sebesar 8,6%. Tahun berikutnya laju harga bertambah naik 2,7%. Pada Desember 2010 harga naik 7% selama setahun yang menyebabkan upah riil Rp 1.1073.800 atau hanya 79,87% dari upah nominal Rp 1.386.700. Artinya, tak akan pernah ada peningkatan upah buruh kapan pun karena terpangkas oleh  kenaikan harga barang dan jasa. Ini terasa berat lagi jika ditambah beban pajak, beraneka ragam pungutan, tunjangan keluarga, dan tidak adanya jaminan sosial.

Beberapa penelitian serikat buruh menunjukkan upah riil buruh hanya mencapai sekitar 70-75% dari total penghasilan per bulan, sedangkan nilainya semakin turun menjadi 45-55% jika hanya menyandarkan upah pokok saja. Apalagi, pengusaha mengintensifkan pencurian nilai lebih dengan meningkatkan beban kerja dalam jam kerja normal tanpa menaikkan upah. Pengusaha sering berkedok krisis ekonomi sebagai alasan menggenjot produktifitas dengan penambahan beban kerja. Massifnya pelaksanaan sistem kontrak menjadikan buruh semakin menderita karena hanya menerima upah pokok saja. Sistem itu telah menguntungkan pengusaha karena mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20%, yang berarti melipatgandakan perampasan nilai lebih. Keadaan itu tidak lepas hubungannya dengan pelaksanaan prinsip fleksibilitas dalam ketenagakerjaan, seperti massifnya penerapan sistem kontrak pendek dan outsourcing (alih daya). Sistem ini telah membatasi masa kerja hanya menjadi enam bulan sampai dua tahun serta mempersempit peluang kerja di industri.

Secara umum dasar pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang terdapat dalam pasal 88 dan pasal 89, serta Peraturan Menteri Tenagakerja No. 13 tahun 2012 tentang Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak dan dijadikan landasan dalam menentukan upah, Peraturan Menteri nomor 13 tahun 2012 ini adalah merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri nomor 17 tahun 2005 yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup buruh saat ini. Perubahan, penyesuaian, dan peningkatan kebutuhan hidup layak yang diatur dalam Permen 13 tahun 2012 ini di katakan telah memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan nasional dan LKS Tripartit Nasional. (Baca; Brosur Propaganda GSBI tentang “Membongkar Politik Upah Murah Rezim SBY-Budiono Maret 2012”)

Dikeluarkannya Permen 13 tahun 2012 sebagai pengganti permen 17 tahun 2005 ini tentu saja bukanlah merupakan kebaikan dari pemerintah SBY, akan tetapi  karena dari hasil perjuangan gerakan buruh Indonesia menuntut pencabutan Permen 17 tahun 2005 yang dinilai sudah tidak layak lagi digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum. Akan tetapi meskipun ada penambahan 14 komponen yang di masukkan dalam permen yang baru tersebut kita tidak bisa berpuas diri karena masih sangat jauh dari apa yang menjadi tuntutan buruh Indonesia tentang pemenuhan kebutuhan hidup layak, dan apabila kita periksa lebih mendalam secara substansi tidak ada perbedaan mendasar antara Permen 17 tahun 2003 dengan Permen 13 tahun 2012.


a.      Permenaker 13 Tahun 2012 Lebih Buruk Dari Permen 17 Tahun 2005

Dasar penetapan upah minimum di Indonesia adalah Kebutuhan Hidup Layak, yang nilainya diperoleh melalui Survei Harga. Secara normatif, yang dimaksud dengan Hidup Layak adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh baik secara fisik, non-fisik, maupun sosial untuk satu bulan.

Namun dalam Permen 13 tahun 2012 dasar penetapannya masih tetap sama dengan Permen 17 tahun 2005, dimana kebutuhan hidup yang menjadi dasar survei harga hanyalah untuk Kebutuhan Hidup Buruh Lajang. Artinya, kebutuhan hidup bagi para buruh yang sudah berkeluarga, sampai sejauh ini tidak masuk dalam hitungan. Bahkan didalam permen nomor 13 Tahun 2012 yang di maksud dengan Kebutuhan hidup layak adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik semata tanpa memperhatikan lagi kebutuhan non-Fisisk maupun sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.

Lihat perbedaan pengertian antara Permen 13 tahun 2012 dengan permen 17 tahun 2005.

Permen 17 Tahun 2005
Permen 13 tahun 2012
Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.


Di dalam Permen No 13 Tahun 2012 pemerintah hanya menambahkan 14 komponen Kebutuhan Hidup sehingga menjadi 60 komponen, tambahan komponen meliputi : 1) Ikat pinggang, 2) Kaos kaki, 3) Deodorant 4) Seterika 250 watt, 5) Rice cooker ukuran 1/2 liter, 6) Celana pendek, 7) Pisau dapur 8) Semir dan sikat sepatu, 9) Rak piring portable plastik, 10) Sabun cuci piring (colek) 11) Gayung plastik ukuran sedang, 12) Sisir, 13) Ballpoint/pensil, 14) Cermin 30 x 50 cm, tentu saja tambahan komponen ini jauh dari kebutuhan hidup buruh riil buruh dan keluarganya. Sedangkan standar barang dan jasanya serta kualitasnya masih tetap sama dengan Permen 17 tahun 2005, didalam Permen 13 thn 2012 sangat jelas mengatakan bahwa buruh Indonesia, tidak boleh berkeluarga, buruh Indonesia tidak boleh tinggal ditempat yang lebih baik dan buruh di Indonesia juga tidak boleh memiliki rumah dan lain sebagainya, semua barang dan jasa yang menjadi dasar perhitungan adalah barang dan jasa kelas 3 atau dalam lampiran tersebut disebutkan kualitas sedang.

KHL juga tidak bersandar pada standar kualitas hidup yang baik melainkan hanya berfungsi sebagai jaring pengaman sementara. Penetapan KHL tidak memasukkan aspek lonjakan kenaikan harga tiap bulan sampai akhir tahun.

Jadi meskipun Permen 13 tahun 2012 ini di katakan sebagai peraturan penyempurna dari Permen 17 tahun 2005 untuk penetapan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak, namun secara kualitas tidak mengalami perubahan, dan hal itu sama sekali tidak membawa perubahan terhadap peningkatan atau perbaikan kesejahteraan kaum buruh dan keluarganya. Ini karena perubahan tersebut tidak menyentuh substansi, tetapi hanya menambahkan 14 komponen kebutuhan yang nilainya sangat kecil dan tidak sesuai dengan kebutuhan riil buruh serta jauh dari tuntutan sejati klas buruh Indonesia. Upah buruh tetaplah murah, itu semua terjadi karena rezim yang berkuasa dari dulu hingga sekarang adalah rezim politik upah murah. Perubahan kebijakan di tataran regulasi hanya untuk memperhalus praktek politik upah murah di Indonesia dan hanya sekedar meredam tuntutan dan aspirasi sejati dari klas buruh Indonesia, karena kenyataannya perubahan peraturan tersebut justru memperendah posisi tawar buruh di hadapan pengusaha.


b.      Didalam Permen 13 tahun 2012 posisi tawar buruh justru semakin rendah di hadapan pengusaha.

Dengan di keluarkannya Permen 13 tahun 2012 buruh semakin di lemahkan posisi tawarnya dihadapan pengusaha, hal ini dapat kita buktikan dengan dihapusnya pasal 4 ayat (3) dan (4) Permen 17 tahun 2005 yang berbunyi sebagai berikut: “Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun”. Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.

Dengan dihilangkannya ayat tersebut maka buruh tidak lagi memiliki sandaran yang kuat untuk melakukan negosiasi upah bagi buruh yang masa kerjanya diatas 1 (satu) tahun dengan pihak pengusaha, sebaliknya pengusaha semakin kuat untuk tidak mau menaikkan upah bagi buruh yang sudah bekerja lebih dari 1 (satu) tahun. Selain itu posisi pengusaha juga semakin kuat untuk tidak menaikkan upah sesuai dengan prosentase kenaikan upah yang berlaku bagi buruh yang upahnya sudah di atas UMK, karena tidak ada lagi aturan yang menyatakan bahwa upah minimum hanya berlaku bagi buruh yang masa kerjanya kurang dari 1 (tahun).


3.      Tentang Kenaikan Upah 2013

Esensi dari perjuangan Upah yang terpenting bagi GSBI adalah: Konsep Penetapan Upah minimum yang harus mendasarkan pada kebutuhan hidup riil buruh beserta keluarganya; pada tahun 2012 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengupahan yang baru yaitu Permen 13 Tahun 2012 yaitu peraturan penyempurna dari peraturan sebelumnya Permen 17 Tahun 2005, akan tetapi Permen 13 tahun 2012 yang mengatur tentang pengupahan di Indonesia yang baru saja di keluarkan oleh pemerintah tersebut adalah masih sama dengan permen 17 tahun 2005. Kebijakan pengupahan yang tetap mendasarkan pada skema politik upah murah yang tetap di pertahankan oleh rezim sejak era kolonialisme Belanda hingga sekarang.

Tujuan dari perjuangan upah bagi GSBI adalah untuk mengurangi beban penindasan dan derajat pengisapan bagi klas buruh, selain menurangi devisit/kekurangan biaya kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya di tengah himpitan ekonomi yang semakin meningkat akibat dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok buruh yang dari tahun ketahun semakin tinggi

Dari tahun ke tahun, aksi massa buruh semakin besar dan luas dalam menuntut kenaikan upah, terutama di daerah-daerah industri (urban center) seperti Jabodetabek, Batam, Medan, Gerbangkertasusilo (Jawa Timur), dll. Tuntutan atas UMP (Upah Minimum Propinsi) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) buruh bervariasi di tiap daerah, mulai satu hingga 2,8 juta rupiah per bulan.

Menanggapi tuntutan kenaikan buruh, pengusaha melalui KADIN (Kamar Dagang dan Industri) bersikap sinis atas tuntutan buruh dan mengusulkan tingkat kenaikan upah pantas dicatatkan ke MURI (Museum Rekor Indonesia) karena kenaikan upah yang paling tinggi. Sikapnya ini terkait ketetapan Dewan Pengupahan DKI sebesar Rp 2.216.243 atau naik 44,9% dari UMP tahun sebelumnya Rp 1.529.150. Lanjutnya, kenaikan upah ini sangat tinggi dan tak wajar jika dibandingkan sejak 2008 merangkak dari 8% sampai angka tertinggi pada 2012 sebesar 18,5%.

Sedangkan ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, menuduh buruh mengada-ada karena menuntut kenaikan upah terlalu tinggi, mematikan pelaku industri, dan tak peka krisis. Mereka berkilah, idealnya kenaikan upah di kisaran antara 8-10% agar dapat melindungi 70% dari 130 juta pekerja di Indonesia yang berada di sektor industri menengah dan kecil. Memang, rata-rata kenaikan UMP seluruh wilayah di tahun 2012 sebesar 10,27% dan 8,69% di tahun sebelumnya. 

Apindo mengancam, tuntutan buruh dapat menjadikan calon investor mengalihkan rencana investasi  bahkan pengusaha akan merelokasi usaha ke luar negeri. Sebaliknya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengakui upah buruh Indonesia sangat murah, yakni hanya 0,6 dollar AS (USD) per jam jika dibandikan India yang mencapai 1,03 USD, Filipina 1,04 USD, Thailand 1,63 USD, China 2,11USD, dan Malaysia 2,88 USD. Perusahaan-perusahaan besar sebetulnya tidak bermasalah atas kenaikan UMP asalkan tidak naik sampai dua kali lipat.

Kemampuan perusahaan sangat terkait dengan kebijakan upah murah yang selalu diandalkan dan dipromosikan, seperti yang disampaikan BKPM dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia: “Labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India.” (Upah buruh di Indonesia relatif rendah, dibandingkan dengan daya tarik yang ditawarkan China dan India sekali pun--ed). Jelas sekali, gendang perang borjuasi besar itu jadi gertak untuk menakuti-nakuti buruh agar upah tetap ditekan serendah-rendahnya. Di sisi lain, beberapa kepala daerah (gubernur dan bupati) menggunakan kenaikan aksi massa buruh sebagai bargain (tawar-menawar) dengan pengusaha melalui retorika pro kesejahteraan buruh atau sikap populisnya.

Di balik itu, ia sesungguhnya telah bersepakat sebelumnya dengan para pengusaha besar tentang penyesuaian-penyesuaian yang kompromis dan saling menguntungkan buat pengusaha dan gubernur. Jadi, bukan keuntungan buat buruh. Seperti Joko Widodo (Jokowi), ia butuh mempertahankan citra populisnya tanpa merugikan para pengusaha besar yang telah banyak membantu dirinya berkuasa. Para pengusaha besar komperador telah banyak diuntungkan oleh pemerintah lewat regulasi pengurangan dan pembebasan pajak, insentif kapital, pengurangan bea, dan sistem upah murah.

Beda halnya dengan nasib pengusaha kecil dan menengah. Kelompok ini sangat minim sekali dan sulit mendapatkan bantuan dan perlindungan dari pemerintah dalam mengembangkan produksi dan akses pasar. Para pengusaha nasional inilah yang paling babak belur menanggung beban krisis dibandingan pengusaha besar komprador. Kebijakan pemerintah justru pro dominasi kapital imperialis dan menguntungkan pengusaha komprador meraih akses kucuran bantuan modal asing, penguasaan pasar dalam negeri, dan perluasan ekspor. Artinya, selama ini ketidakberdayaan pengusaha nasional (Pengusaha kecil dan menengah) hanya dimanfaatkan pengusaha-pengusaha besar komprador sebagai tameng atas tuntutan kenaikan upah, agar kenaikan upah yang di tetapkan oleh gubernur tidak terlalu tinggi.

Menanggapi ancaman efisiensi dan relokasi perusahaan oleh Apindo akibat kenaikan upah yang di nilai terlalu tinggi, pemerintah kembali mengorbankan nasib buruh, mereka justru akan memberikan kemudaan kepada pengusaha yang tidak mampu membayar upah sesuai dengan UMK/UMP yang di tetapkan untuk melakukan penangguhan pelaksanaan upah sebagaimana di atur dalam Kepmen no 231 tahun 2003 tentang tata cara penangguhan pelaksanaan upah. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah lepas tanggung jawab didalam memberikan perlindungan upah bagi buruh, sehari paska pengumuman kenaikan upah di DKI jakarta sudah ada 60 pengusaha  yang mengajukan penangguhan.

Padahal jika kita mencermati perusahaan-perusahaan yang lolos mengajukan penangguhan pelaksanaan Upah justru perusahaan-perusahaan besar komperador, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil justru mereka tidak bisa mengajukan penangguhan kenaikan upah karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk menyuap birokrasi agar ajuan penangguhannya dapat diloloskan atau disetujui oleh Gubernur.

Upah minimum adalah upah terendah bagi buruh yang masa kerjanya dibawah 1 (satu) tahun, sehingga sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk memastikan pelaksanaannya. Bagi pengusaha yang secara objektif tidak mampu membayarkan upah sesuai dengan UMK/UMP yang berlaku maka pemerintah harus memberikan subsidi agar buruh tetap mendapatkan upah sesuai dengan UMK/UMP. Sedangkan bagi pengusaha yang tidak mengajukan penangguhan pelaksanaan upah dan tidak membayar upah buruhnya maka wajib bagi pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dan dan memberikan snksi kepada pengusaha yang terbukti tidak membayar upah buruhnya sesuai dengan UMK/UMP yang berlaku.


4.      Sikap dan Tuntutan GSBI Tentang Kenaikan Upah Minimum 2013

Mendasarkan pada pandangan dan penilaian tentang persoalan upah yang sudah kita jelaskan diatas maka penting bagi klas buruh dan rakyat tertindas lainnya untuk menyatukan pendirian dan sikap bersama agar dapat menyatukan kekuatan sehingga apa yang menjadi tuntutan perjuangan buruh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi beban penderitaan hidup bagi klas buruh Indonesia.

Sikap dan tuntutan GSBI tentang kenaikan upah minimum 2013 akan kita uraikan sebagai berikut:

Pertama; Kenaikan upah 2013 yang rata-rata diatas 100% KHL, maka tugas mendesak bagi GSBI adalah seluruh jajaran organisasi harus dapat menggunakan dan memaksimalkan kemampuannya untuk memastikan ketetapan upah 2013 dapat dijalankan dan menolak rencana penangguhan yang mungkin saja dilakukan oleh pengusaha, tugas tersebut tentu saja akan dapat kita laksanakan dengan baik apabila seluruh pimpinan dan anggota dapat bersatu dan berjuang bersama-sama, karena dengan begitu posisi serikat akan kuat dalam melakukan perundingan di perusahaan. Selain itu kita juga harus mempererat persatuan dan kerja sama agar terbangun solidaritas yang kuat  sesama buruh meskipun bukan anggota GSBI serta membantu apabila upah mereka bermasalah atau upah mereka tidak naik karena pengusahanya melakukan penangguhan. Kita harus membantu mereka karena nasib mereka adalah merupakan bagian dari masa depan hidup kita.

Kedua; Tentang adanya perubahan Permen 17/2005 menjadi Permen 13/2012 yang mengatur tentang komponen pencapaian kebutuhan hidup layak maka GSBI secara tegas menolak dan menuntut kepada pemerintah agar segera mencabut dan merevisi kembali, karena tuntutan kita sejatinya adalah bukan sekedar penambahan komponen semata, akan tetapi upah Minimum yang di tentukan berdasarkan kebutuhan riil buruh dan keluarganya, karena sesungguhnya penambahan komponen tersebut hanyalah tipu daya. Yang esensial dari parameter untuk menentukan upah adalah kebutuhan dasar manusia Indonesia secara “wajar”. Contoh sederhana, kalau pengusaha yang orang Indonesia boleh memakai sepatu dengan harga Rp. Rp 500.000,- kenapa upah buruh untuk komponen sepatu tidak sama harganya dengan yang dipakai oleh pengusaha? Menghitung upah minimum sebenarnya bisa dilakukan dengan sederhana, berapa jumlah pendapatan per kapita rakyat Indonesia sesuai dengan kampanye Presiden SBY selama ini. SBY mengatakan bahwa pendapatan per kapita penduduk Indonesia adalah US $ 2,900, artinya jika benar sesuai dengan apa yang dikatakan SBY, maka seluruh penduduk Indonesia seharusnya rata-rata berpendapatan minimum 2,1 juta/bulan.

Ketiga; Kepmen 231/2003 yang mengatur tentang mekanisme penangguhan pelaksanaan upah harus segera di cabut. Karena Kepmen tersebut adalah merupakan peraturan yang secara terang dan jelas telah merampas setiap kenaikan upah buruh di Indonesia. Dengan adanya Kepmen ini, seluruh pengusaha di Indonesia diberikan hak konstitusional untuk mengajukan proses penangguhan upah dengan berbagai bentuknya. Dan untuk tahun ini, pemerintah telah dengan terang meminta kepada pejabat diseluruh daerah untuk memberikan kemudahan dalam proses penangguhan upah. Maka tidak ada jalan lain bagi organisasi selain menuntut agar Kepmen 231/2003 segera dicabut.

Kelima; Tentang penaikkan upah 2013 yang mencapai 45%. Maka kita mendesak pemerintah harus bertanggung jawab dalam menjamin agar upah tidak sekedar naik, namun pemerintah harus memberikan jaminan agar ketetapan upah 2013 dapat dijalankan, karena UMK/UMP merupakan upah terendah yang bertujuan sebagai jaring pengaman agar penghidupan buruh tidak semakin terperosok kejurang yang paling rendah, maka semestinya UMK/UMP tidak boleh ditawar-tawar lagi. Jika kemudian terdapat perusahaan yang menangguhkan upah dan disetujui oleh pemerintah, maka pemerintah berkewajiban untuk memberikan subsidi kepada buruh. selain juga memberikan sanksi tegas bagi pengusaha-pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai dengan ketentuan.

Keenam; menghadapi kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat yang terus melambung tinggi, maka GSBI menuntut pemerintah agar dapat menurunkan harga-harga kebutuhan pokok rakyat, sebab jika tidak maka kenaikan upah buruh yang sebenarnya tidak signifikan tersebut tidak akan ada artinya sama sekali karena terampas akibat nilai tukar rupiah yang semakin rendah.


5.      Penutup

Demikian tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan penjelasan mengenai pandangan, sikap  dan tuntutan GSBI dalam rangka perjuangan buruh untuk kenaikan Upah 2013 serta melawan politik upah murah yang masih tetap di pertahankan oleh rezim SBY. Agar dapat menjadi pedoman bagi seluruh pimpinan dan anggota GSBI dalam melawan dan membelejeti politik upah murah, serta memperhebat perjuangan ditengah kebangkitan gerakan buruh yang semakin besar dan meluas; Dimana momentum ini oleh GSBI telah didudukkan sebagai momentum bagi seluruh jajaran organisasi GSBI (kaum buruh serta seluruh rakyat Indonesia) untuk kembali meneguhkan perlawanannya terhadap rezim SBY-Budiono yang terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan bagi buruh beserta keluarganya serta tidak mampu memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak demokratis kaum buruh dan rakyat Indonesia. SBY terbukti gagal membawa bangsa dan negara keluar dari himpitan ekonomi akibat krisis yang semakin hari semakin parah, bahkan SBY-Budiono justru menggadaikan kedaulatan Bangsa dan Negara Indonesia jatuh ketangan Imperialis.

GSBI menyerukan kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota agar terus memperkuat pekerjaan propaganda ditengah-tengah massa, meningkatkan persatuan dan kesolidan diantara buruh, agar dapat memperhebat perjuangan massa. Melawan rencana penangguhan pelaksanaan upah 2013 dan mendesak pemerintah agar memastikan pelaksanaan upah 2013 dengan menjalankan fungsi pengawasan sebagai tugas dan tanggung jawabnya, serta memberikan perlindungan upah terhadap buruh dengan cara menurunkan harga-harga kebutuhan rakyat.

Karena sudah saatnya klas buruh mengakhiri penindasan. Dan sudah saatnya kaum buruh mendapatkan upah kerja yang sesuai dan mencukupi kebutuhan hidupnya, upah kerja yang dapat memberikan jaminan atas kesejahteraan hidup bagi kaum buruh dan juga keluarganya. Karena hanya dengan persatuan dan perjuanganlah kesejahteraan buruh akan dapat kita raih.

##



Jakarta, Desember 2012


Lokasi: Jakarta, Indonesia

Related

Upah 4169698689049027264

Posting Komentar

emo-but-icon

Populer

Terbaru

Respon

item