Nilai Lebih dan Pengerukan Super Profit
S ecara umum, proletariat dihisap oleh kapitalis melalui perampasan nilai lebih dan pengerukan laba secara besar-besaran (super). Nilai suat...
https://info-gsbi.blogspot.com/2013/09/nilai-lebih-dan-pengerukan-super-profit.html
Secara umum, proletariat dihisap oleh kapitalis melalui perampasan nilai lebih dan pengerukan laba secara besar-besaran (super). Nilai suatu barang diciptakan dari kerja buruh secara kolektif. Setiap barang akan bernilai di pasar harga yang seharusnya sama dengan nilai tenaga kerja dari buruh, namun karena hubungan produksi ini dikuasai oleh borjuasi atau kapitalis maka nilai tenaga kerja buruh tidak diberikan sesuai dengan harga produknya. Kelebihan nilai yang tidak dberikan kepada proletar itulah yang dirampas oleh borjuasi.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis tenaga kerja dipandang sebagai bagian dari biaya produksi. Karena kapitalis membeli tenaga kerja buruh maka ia menganggap berhak menggunakan tenaga kerja seperti halnya barang dagangan yang dibelinya. Dengan demikian, kapitalis memiliki hak menjadikan buruh bekerja baginya dan menggunakan tenaga kerja buruh dalam masa waktu tertentu menurut perjanjian. Seorang buruh menciptakan lebih banyak nilai dibandingkan nilai yang dibayarkan terhadap tenaga kerja tersebut. Artinya, buruh tidak perlu menghabiskan waktu kerjanya—contoh: 8 jam kerja—untuk mendapatkan besaran upah yang diterima, sedangkan kapitalis merampas nilai lebih untuk dirinya sendiri. Inilah esensi atau hakekat penghisapan kapitalis. Sedangkan dalam pandangan ekonomi proletariat, manusia tidak dipandang sebagai biaya karena kapital tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa ada campur tangan manusia (buruh).
Di bawah ini contoh sederhana perhitungan penghisapan nilai lebih:
1. Total penjualan kotor (N1) : Rp. 7.000.000.000.000,00
2. Biaya modal konstan (N2): Rp. 5.500.000.000.000,00
3. Nilai bertambah (N3) : N1-N2 = Rp. 1.500.000.000.000,00 (Laba Kotor)
4. Upah dan berbagai tunjangan lainnya (N4) : Rp. 10.000.000.000
5. Nilai lebih (N5) : N3-N4 = Rp. 1.490.000.000.000,00
6. Derajat penghisapan: N5/N4 x 100 (untuk melihat perbandingan setiap Rp. 1 yang didapat kaum buruh dan seberapa besar yang didapat kapitalis). Rp. 1.490.000.000.000,00/
Rp. 10.000.000.000,00 : 149/1 x 100 = 149%. Atau rata-rata dalam setiap Rp. 1,00 yang didapat oleh buruh, maka kapitalis akan mendapatkan Rp. 149,00.
7. Persentase dari nilai bertambah yang diambil oleh kapitalis : N5/N3 x 100.
Rp. 1.490.000.000.000,00/Rp. 1.500.000.000.000,00 x 100 = 0,99 (99%)
8. Persentase dari nilai bertambah yang didapat oleh kaum buruh : N4/N3 x 100 : Rp. 10.000.000.000,00/Rp. 1.500.000.000.000,00 x 100 = 0,0067 (kurang dari 1%)
9. Jam kerja yang tidak dibayar : dari 8 jam kerja sehari adalah 7 jam 55,2 menit (55 menit 12 detik). Ini berdasarkan persentase nilai bertambah yang diambil kapitalis (99%).
10. Jam kerja yang dibayar : dari 8 jam kerja sehari adalah + 3 menit 13 detik . Ini berdasarkan persentase dari nilai bertambah yang didapat kaum buruh (0,0067%).
Penghisapan kapitalis tersebut akan semakin tinggi dengan cara meningkatkan jam kerja dan penggunaan teknologi. Itulah cara kapitalis menekan upah. Penggunaan teknologi tidaklah mengurangi penghisapan nilai lebih—seperti yang digembar-gemborkan pengusaha—bahkan meningkatkan derajat penghisapan melalui peningkatan produksi berskala lebih besar lagi, sedangkan upah buruh tidak mengalami kenaikan berarti.
Pada era imperialisme, kapitalisme monopoli tidak hanya mengandalkan produksi dalam mengeruk keuntungan (profit) tetapi juga terlibat dalam usaha kapital finans (uang) untuk mengelembungkan profitnya—melalui penjualan saham, obligasi, surat-surat berharga lainnya, perdagangan valuta asing, dll—menjadi raksasa atau super melalui pasar saham dan valuta. Selain itu, mereka mencaplok perusahaan-perusahaan lemah atau bangkrut sebagai upaya ekspansi (perluasan) kekuatan kapital dan meningkatkan keuntungan. Mereka juga mengatur regulasi ekonomi (produksi, perdagangan, keuangan) melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional ( IMF, Bank Dunia, WTO, dll) untuk mendesak negara-negara jajahan atau setengah jajahan menyerahkan secara mudah aset-aset publik (seperti: tanah, bank, listrik, air minum, infrastruktur, sekolah, rumah sakit, dll) untuk dikuasai penuh. Mereka bisa melakukan hal itu karena telah memonopoli seluruh aspek produksi, perdagangan, dan keuangan melalui penghisapan sebelumnya atas proletariat dan seluruh rakyat pekerja.
Oleh karena itu, di antara tiga jenis borjuasi/kapitalis (kapitalis monopoli asing, kapitalis besar komprador, kapitalis menengah),maka kapitalis monopoli lah yang paling banyak melakukan pengerukan. Kaum borjuasi besar komprador memang mendapatkan “cipratan” keuntungan karena terlibat dalam pengerukan super profit ini tetapi mereka sangat bergantung pada “denyut darah” kapitalis monopoli, sehingga mereka tidak akan pernah besar melebihi tuannya sendiri. Di saat krisis ini, yang berkepanjangan, mereka akan meminta-minta bantuan tuannya—yang juga terkena krisis dari sistem imperialisme yang telah lama lapuk dan busuk itu—agar bisa selamat.
Cara yang termudah bagi borjuasi besar komprador—melalui Pemerintah Indonesia yang reaksioner—agar keluar dari krisis adalah meningkatkan monopoli tanah dan penghisapan terhadap proletariat.#
Dalam pandangan ekonomi kapitalis tenaga kerja dipandang sebagai bagian dari biaya produksi. Karena kapitalis membeli tenaga kerja buruh maka ia menganggap berhak menggunakan tenaga kerja seperti halnya barang dagangan yang dibelinya. Dengan demikian, kapitalis memiliki hak menjadikan buruh bekerja baginya dan menggunakan tenaga kerja buruh dalam masa waktu tertentu menurut perjanjian. Seorang buruh menciptakan lebih banyak nilai dibandingkan nilai yang dibayarkan terhadap tenaga kerja tersebut. Artinya, buruh tidak perlu menghabiskan waktu kerjanya—contoh: 8 jam kerja—untuk mendapatkan besaran upah yang diterima, sedangkan kapitalis merampas nilai lebih untuk dirinya sendiri. Inilah esensi atau hakekat penghisapan kapitalis. Sedangkan dalam pandangan ekonomi proletariat, manusia tidak dipandang sebagai biaya karena kapital tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa ada campur tangan manusia (buruh).
Di bawah ini contoh sederhana perhitungan penghisapan nilai lebih:
1. Total penjualan kotor (N1) : Rp. 7.000.000.000.000,00
2. Biaya modal konstan (N2): Rp. 5.500.000.000.000,00
3. Nilai bertambah (N3) : N1-N2 = Rp. 1.500.000.000.000,00 (Laba Kotor)
4. Upah dan berbagai tunjangan lainnya (N4) : Rp. 10.000.000.000
5. Nilai lebih (N5) : N3-N4 = Rp. 1.490.000.000.000,00
6. Derajat penghisapan: N5/N4 x 100 (untuk melihat perbandingan setiap Rp. 1 yang didapat kaum buruh dan seberapa besar yang didapat kapitalis). Rp. 1.490.000.000.000,00/
Rp. 10.000.000.000,00 : 149/1 x 100 = 149%. Atau rata-rata dalam setiap Rp. 1,00 yang didapat oleh buruh, maka kapitalis akan mendapatkan Rp. 149,00.
7. Persentase dari nilai bertambah yang diambil oleh kapitalis : N5/N3 x 100.
Rp. 1.490.000.000.000,00/Rp. 1.500.000.000.000,00 x 100 = 0,99 (99%)
8. Persentase dari nilai bertambah yang didapat oleh kaum buruh : N4/N3 x 100 : Rp. 10.000.000.000,00/Rp. 1.500.000.000.000,00 x 100 = 0,0067 (kurang dari 1%)
9. Jam kerja yang tidak dibayar : dari 8 jam kerja sehari adalah 7 jam 55,2 menit (55 menit 12 detik). Ini berdasarkan persentase nilai bertambah yang diambil kapitalis (99%).
10. Jam kerja yang dibayar : dari 8 jam kerja sehari adalah + 3 menit 13 detik . Ini berdasarkan persentase dari nilai bertambah yang didapat kaum buruh (0,0067%).
Penghisapan kapitalis tersebut akan semakin tinggi dengan cara meningkatkan jam kerja dan penggunaan teknologi. Itulah cara kapitalis menekan upah. Penggunaan teknologi tidaklah mengurangi penghisapan nilai lebih—seperti yang digembar-gemborkan pengusaha—bahkan meningkatkan derajat penghisapan melalui peningkatan produksi berskala lebih besar lagi, sedangkan upah buruh tidak mengalami kenaikan berarti.
Pada era imperialisme, kapitalisme monopoli tidak hanya mengandalkan produksi dalam mengeruk keuntungan (profit) tetapi juga terlibat dalam usaha kapital finans (uang) untuk mengelembungkan profitnya—melalui penjualan saham, obligasi, surat-surat berharga lainnya, perdagangan valuta asing, dll—menjadi raksasa atau super melalui pasar saham dan valuta. Selain itu, mereka mencaplok perusahaan-perusahaan lemah atau bangkrut sebagai upaya ekspansi (perluasan) kekuatan kapital dan meningkatkan keuntungan. Mereka juga mengatur regulasi ekonomi (produksi, perdagangan, keuangan) melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional ( IMF, Bank Dunia, WTO, dll) untuk mendesak negara-negara jajahan atau setengah jajahan menyerahkan secara mudah aset-aset publik (seperti: tanah, bank, listrik, air minum, infrastruktur, sekolah, rumah sakit, dll) untuk dikuasai penuh. Mereka bisa melakukan hal itu karena telah memonopoli seluruh aspek produksi, perdagangan, dan keuangan melalui penghisapan sebelumnya atas proletariat dan seluruh rakyat pekerja.
Oleh karena itu, di antara tiga jenis borjuasi/kapitalis (kapitalis monopoli asing, kapitalis besar komprador, kapitalis menengah),maka kapitalis monopoli lah yang paling banyak melakukan pengerukan. Kaum borjuasi besar komprador memang mendapatkan “cipratan” keuntungan karena terlibat dalam pengerukan super profit ini tetapi mereka sangat bergantung pada “denyut darah” kapitalis monopoli, sehingga mereka tidak akan pernah besar melebihi tuannya sendiri. Di saat krisis ini, yang berkepanjangan, mereka akan meminta-minta bantuan tuannya—yang juga terkena krisis dari sistem imperialisme yang telah lama lapuk dan busuk itu—agar bisa selamat.
Cara yang termudah bagi borjuasi besar komprador—melalui Pemerintah Indonesia yang reaksioner—agar keluar dari krisis adalah meningkatkan monopoli tanah dan penghisapan terhadap proletariat.#